Minggu, 10 Januari 2010

Pendidikan Anak di Jerman

Posted by M. Wahyu Hidyat  |  at  22.36 No comments

Oleh: Sekar Chandra Ratnasari 
NIM: 0902442


Pendahuluan

Pendidikan hal yang sangat penting untuk memajukan negara bahkan untuk modal dalam kehidupan diri sendiri. Pendidikan dapat kita peroleh dari mana saja dan kapan saja. Di dalam hadist dijelaskan bahwa “seseorang yang berilmu ditinggikan derajatnya”. Oleh karena itu, pendidikan merupakan fundamental bagi kehidupan seseorang. Rajinlah menuntut ilmu, baik ilmu dunia maupun akhirat. Karena ilmu akan dibutuhkan dimana saja bahkan sangat mudah untuk dibawa. Semakin banyak ilmu yang didapat, semakin mudah untuk menjalani kehidupan. Demikian pula halnya dengan pendidikan di Jerman, nilai-nilai kedisiplinan, kewajiban dan ketaatan merupakan titik sentral pendidikan. Masyarakat Jerman sangat disiplin dengan waktu, demikian pula dengan menuntut ilmu. Banyak cara untuk mendapatkan pendidikan. Salah satunya dengan membaca. Membaca ilmu pendidikan, membaca novel, bahkan membaca komik pun dapat memberikan kita ilmu, jika kita dapat memaknai isi dari bacaan tersebut.

a. Definisi pendidikan
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. (Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional).
“Pendidikan berasal dari kata "didik", mendapat awalan "me" menjadi "mendidik", artinya memelihara dan memberi latihan. Jadi dalam mendidik diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan teladan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran”. (Menurut Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232).
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha untuk mewujudkan proses pembelajaran agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Pendidikan dapat kita peroleh dimana saja. Keluarga, lingkungan, bahkan tempat yang tak terduga sekalipun. Dengan menjadi orang yang berpendidikan, kita dapat melihat dan membedakan kehidupan yang baik maupun yang tidak baik.
Rolf Mohr mendefinisikan pendidikan sebagai pengaruh terhadap individu dengan tujuan untuk penyesuaian diri dengan standar nilai, norma dan sikap yang berlaku dengan standardisasi sosial dan enkulturasi agar masing-masing individu merasa nyaman berada di dalam lingkungan sosialnya. Di sisi lain, pendidikan juga bertujuan untuk mengembangkan individu. Artinya, melalui pendidikan setiap individu dapat menemukan dan mengembangkan potensi dan bakatnya masing-masing. (http://de.wikipedia.org/wiki/Erziehung).
Pendidikan membentuk anak menjadi kuat dalam menghadapi hidup, membantu mereka menemukan tempatnya di masyarakat dan bertanggungjawab terhadap kehidupannya. Hal ini menjadi tantangan yang berat bagi kedua orang tua. Di satu pihak, orang tua harus mampu menafkahi keluarga demi kelangsungan hidup. Di lain pihak, mereka juga harus berusaha semaksimal mungkin dalam membekali anak-anaknya dengan berbagai kompetensi sosial dan pendidikan agar kelak anak-anak itu mampu mandiri dan bertanggung jawab terhadap kehidupannya.



b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan
Banyak faktor yang mempengaruhi cara mendidik anak, seperti latar belakang keluarga, pendidikan, taraf ekonomi, lingkungan tempat tinggal dan pergaulan, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan pendidikan di Jerman. Di Jerman sampai pada tahun 1960-an, nilai-nilai kedisiplinan, pemenuhan kewajiban dan ketaatan merupakan titik sentral pendidikan di dalam keluarga. Namun setelah itu, pendidikan di dalam keluarga mengalami pergeseran nilai dan emansipasi. Pendidikan di dalam keluarga lebih mengedepankan otonomi (kemandirian dan kemampuan untuk menentukan keputusan sendiri), kemampuan mengaktualisasikan diri, kesediaan untuk menerima kritik dan lain sebagainya. Namun pergeseran nilai ini bukan merupakan harga mati yang harus ditaati sepenuhnya, karena pendidikan anak terkait erat dengan mengarahkan anak untuk menjadi manusia yang memiliki akal sehat. Sebuah perpaduan dari berbagai macam gaya mendidik dengan landasan utama pada gaya mendidik yang demokratis merupakan cara terbaik dalam mendidik anak.

c. Model pendidikan

Ada empat model mendidik yang diterapkan keluarga di Jerman, yaitu (1) Antiotoriter, (2) Otoriter, (3) Laissez faire, dan (4) Demokratis.

(1) Antiotoriter: Mendidik dengan cara antiotoriter adalah mendidik anak dengan cara tidak memaksakan kehendak orangtua kepada anak dan menuntun ke arah perkembangan pribadi setiap individu. Metode ini mulai banyak diterapkan di Jerman pada tahun 1960an. Dengan metode pendidikan antiotoriter, anak mempunyai kesempatan berkembang secara maksimal sehingga kepribadian dan kepercayaan dirinya tumbuh secara bebas. Namun, pendidikan semacam ini diartikan lain oleh orang tua. Mereka mendidik anak dengan memberi kebebasan seluas-luasnya kepada anak tanpa batas sehingga terbentuk “generasi egois”, dan pada akhirnya metode mendidik antiotoriter mendapat kecaman keras. Di Jerman saat ini tidak lagi digunakan istilah antiotoriter, anak-anak sekarang dididik secara demokratis.

(2) Otoriter: Ciri mendidik anak menggunakan model otoriter adalah semua ditentukan oleh orang tua atau pendidik. Cara berpikir dan bersikap anak diarahkan sesuai dengan cara berpikir orang dewasa, sehingga sering terlontar perintah dan aturan kepada anak didik. Orang tua mengabaikan kebutuhan dan keinginan anak dan biasanya orangtua yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh anak. Anak yang dididik dengan model otoriter sering mendapat celaan dan teguran dari orang tua atau pendidik. Model pendidikan ini diterapkan di Jerman pada tahun 30-an sampai tahun 60-an. Akibat yang ditimbulkan dari model mendidik otoriter yaitu kreativitas dan spontanitas anak terhambat. Hal ini mengakibatkan anak cenderung bersikap agresif terhadap anak yang lebih lemah. Jika kebutuhan dan keinginan anak tidak ditanggapi, sikap agresif ini bisa berarti sebuah cara yang ditunjukkan anak untuk menarik perhatian. Cara mendidik seperti ini mendorong anak menjadi tergantung pada orang lain. Di samping itu, mereka juga sering mengalami perasaan rendah diri.

(3) Laissez Faire: Berbeda dengan cara otoriter, orang tua yang mendidik anak menggunakan Laissez Faire bersikap pasif terhadap anak. Orang tua jarang memberikan pengarahan sehingga pada dasarnya anak dibiarkan tumbuh sendiri. Orang tua hampir tidak pernah menuntut apa-apa dari anak dan jarang memperhatikan pendapat anak yang bertentangan dengannya. Dalam mendidik, orang tua hanya melakukan apa yang penting dan mendidik seminimal mungkin, dengan kata lain, orang tua mengabaikan anak. Anak yang tumbuh melalui cara laissez-faire akan mengalami masalah besar saat mereka menginjak remaja dan menjadi dewasa. Mereka kesulitan membina hubungan dan tidak mampu berkomunikasi dengan orang yang seusia karena mereka sendiri tidak pernah belajar membina hubungan emosional yang positif. Sikap percaya diri juga tidak terbentuk. Karena saat remaja mereka tidak mengenal hubungan dekat dan menjaga jarak, akibatnya mereka tidak mampu membina komunikasi yang baik. Di sekolah, jika ditinjau dari prestasi dan kewajiban, mereka tidak mampu menyesuaikan diri. Anak yang dididik dengan cara ini mempunyai kecenderungan kuat menjadi pemuda yang nakal dan terlibat dengan penggunaan narkoba.

(4) Demokratis: Cara mendidik demokratis memberikan banyak peluang kepada anak untuk dapat berkembang semaksimal mungkin dan melakukan banyak hal, karena semua keputusan penting dibicarakan bersama-sama antara orang tua dan anak. Hal ini mendorong terbentuknya sikap percaya diri dan kemandirian. Pengarahan yang positif sebagai bekal orientasi yang diperoleh anak, saran dari orang tua yang didasarkan pada kebutuhan dan minat anak merupakan perpaduan cara mendidik otoriter dan kebebasan. Dampak positif dari pendidikan secara demokratis misalnya, anak menunjukkan rasa percaya diri yang besar, emosi yang stabil dan bijaksana, serta memiliki etos belajar dan etos berprestasi. Dalam kehidupan bermasyarakat, anak mampu mempelajari banyak kompetensi yang diperlukan untuk bekal hidupnya, seperti sikap menghargai dan memahami orang lain, kemampuan bekerja sama dengan orang lain dan mampu bersikap kritis. 

Setiap orang tua mempunyai gaya mendidik yang berbeda karena setiap orang mempunyai pandangan norma dan nilai yang berbeda. Karena perbedaan pandangan tersebut, maka orang tua menerapkan pandangannya pada anaknya. Sebagai contoh, ada orang tua yang mendidik anak dengan membiasakan untuk mengemukakan semua pikiran dan pendapatnya, sementara orang tua yang lain mendidik anak dengan cara memperbolehkan anak berbicara dan mengeluarkan pendapatnya apabila ditanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak mampu tumbuh dan berkembang secara maksimal jika ia dididik oleh orang tua yang menerapkan model demokratis.

Pendidikan di Jerman bertujuan menanamkan nilai-nilai kejujuran, kemandirian, dapat dipercaya, siap membantu orang lain, bersikap santun, bertanggungjawab, ramah, sopan, rajin, toleran, menyadari tugas dan kewajiban, disiplin, bersikap adil, mampu bersosialisasi, sanggup menegakkan kebenaran, dan mampu bersikap kritis. (Menurut Bundesministerium für Familie, Senioren, Frauen und Jugend, Wertorientierte Erziehung in Deutschland, Ausgabe Nr. 7).

Prof. Dr. Jürgen Körner, seorang profesor bidang pedagogi sosial pada Freie Universitas di Berlin sekaligus sebagai ketua Masyarakat Psikoanalisis Jerman mengajukan beberapa pemikiran menarik untuk menjawab permasalahan: (1) bagaimana mengubah paksaan di dalam pendidikan menjadi pilihan bebas seorang anak dan bukan karena anak harus menyesuaikan?, (2) bagaimana cara mendidik anak agar menjadi seorang yang “tidak tergantung” pada orang lain?, (3) bagaimana memaksa seseorang “sukarela melakukan sesuatu” yang sebenarnya tidak ia sukai? Beberapa pemikiran yang ia lontarkan antara lain:

1) Pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk diskusi antara orang tua dan anak.
2) Anak mempunyai hak atas “kekuasaan” orang tua (agar anak tetap berada di dalam “posisi” sebagai anak).
3) Prinsip pendidikan yang mengharapkan anak mampu mengelola diri sendiri akan kandas.
4) Pengenalan nilai-nilai tidak dapat disampaikan melalui “khotbah”, melainkan hanya dengan cara mengalaminya. Penilaian terhadap moral bukan disampaikan melalui argumentasi melainkan diperoleh melalui identifikasi dengan suri tauladan.
5) Jika anak menghadapi situasi yang membatasinya atau menghalanginya, maka ia akan berkembang (di dalam lingkungan yang aman) terutama dengan ungkapan “Tidak” sebagai tanda penolakan. Di samping itu, suatu saat anak pasti akan mengalami kegagalan, di sinilah ia akan belajar untuk bertanggung jawab terhadap dirinya.
(http://primardiana.blogspot.com/2009/09pendidikan-anak-di-jerman.html27)


Kesimpulan:

Pendidikan merupakan fundamental bagi kehidupan seseorang. Pendidikan adalah usaha untuk mewujudkan proses pembelajaran agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Pendidikan dapat kita peroleh dimana saja. Keluarga, lingkungan, bahkan tempat yang tak terduga sekalipun. Dengan menjadi orang yang berpendidikan, kita dapat melihat dan membedakan kehidupan yang baik maupun yang tidak baik.

Tanamkanlah pendidikan sedini mungkin, dengan cara dan tujuan yang baik dan benar. Agar anak dapat lapang dada dalam menerima kegagalan dan belajar mengatasi kegagalan atau hambatan. Belajar mengatasi kegagalan atau hambatan bukan hanya sekedar tugas orang tua, melainkan juga menjadi tugas para praktisi pendidikan yang menangani anak dan pemuda. Semoga artikel ilmiah ini, dapat dijadikan sebagai salah satu acuan produktif untuk menuntut ilmu lebih tinggi dan menjadikan pola pikir sebagai generasi penerus bangsa lebih maju dan kritis.


Referensi

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang Pendidikan. Jakarta.
Erich dkk. 2000. Kamus Indonesia-Jerman. Jakarta: Dian Rakyat.
Funk, Herman dkk. 2008. Studio d A1. Jakarta: Katalis.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.

Sumber Internet:
www.AsianBrain.com
http://de.wikipedia.org/wiki/Erziehung
http://primardiana.blogspot.com/2009/09/pendidikan-anak-di-jerman.html27

About the Author

Write admin description here..

Get Updates

Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.

Share This Post

Related posts

0 komentar:

    Featured Post (Slider)

    Powered by Blogger | Big News Times Theme by Basnetg Templates

    Total Pageviews

    Blogroll

    Followers

    Featured Posts Coolbthemes

    Contact Us

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Blogger news

    (Tab Widget 2)

    Diberdayakan oleh Blogger.

    Translate

    Search This Blog

Text Widget

© 2013 give it a shot. WP Theme-junkie converted by Bloggertheme9
Blogger templates. Proudly Powered by Blogger.
back to top